POSJAKUT -- Menyusul rencana Pemerintah Arab Saudi yang akan menghadirkan Ka'bah di metaverse, sontak menimbulkan pertanyaan.
 
Apakah dengan mengunjungi baitullah di metaverse sama seperti melaksanakan ibadah haji?
 
Publik kemudian bertanya-tanya bagaimana hukumnya?
 
Apakan tata caranya diperbolehkan beribadah haji lewat metaverse?
 
 
Nampaknya Arab Saudi memang serius menampilkan Ka'bah di metaverse.
 
Tujuannya agar warga Muslim di seluruh dunia merasakan pengalaman melihat Ka'bah dan Hajar Aswad secara virtual.
 
Menjawab banyak pertanyaan soal itu, Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas  mengungkapkan bahwa mengelilingi ka'bah di metaverse tidak dapat menjadi bagian dari pelaksanaan ibadah haji.
 
Kalaupun Ka'bah hadir di metaverse, itu merupakan hal yang baik.
 
 
Tetapi tidak dapat disebut sebagai bagian dari ibadah haji karena tidak memenuhi syarat pelaksanaan ibadah haji.

"Kalau ada orang yang akan menyelenggarakan ibadah haji secara virtual via metaverse berarti dia menyelenggarakan ibadah hajinya tidak secara fisik tapi hanya melalui penglihatan saja, maka hal demikian tentu sudah jelas tidak masuk ke dalam kategori sedang melaksanakan ibadah haji," ujar Anwar dilansir Antara, Rabu 9 Februari 2022.

Metaverse adalah kombinasi dari berbagai elemen teknologi termasuk realitas virtual, realitas tertambah, dan video yang memungkinkan pengguna melakukan berbagai aktivitas dalam satu semesta digital.
 
Menurut Anwar, melihat Ka'bah secara virtual rasanya akan seperti menonton program kuliner di televisi, menggugah selera tapi tidak bisa mengatasi lapar.
 

Anwar menjelaskan bahwa ibadah haji mencakup kegiatan fisik di tempat-tempat yang telah ditentukan.
 
Sejumlah tenpat telah ditentukan menjadi bagian dari kewajiban haji seperti di Padang Arafah, Muzdalifah, Mina, ka'bah di Masjidil Haram, Shafa, dan Marwa. Waktu pelaksanaan ibadah haji juga ditentukan pada bulan Dzulhijjah.

Anwar kemudian mengutip Hadis Nabi Muhammad SAW, "Barang siapa yang menjumpai wukuf di Arafah, maka ia menjumpai haji".

"Ini artinya kalau ada orang yang tidak bisa hadir di Padang Arafah pada waktu yang telah ditentukan oleh syara' tersebut, maka yang bersangkutan secara syar'iyah tidak bisa diakui telah melaksanakan ibadah haji karena yang bersangkutan tidak bisa hadir di tempat dimaksud pada waktu yang telah ditentukan," kata Anwar.
 
Baca Juga: Sekolah di Karnataka Ditutup Buntut Protes Kebijakan Pelarangan Penggunaan Hijab, Ketegangan Meningkat

"Belum lagi yang menyangkut mabit di Muzdalifah, melempar jumroh di Mina, tawaf di ka'bah, serta sa'i antara Shafa dan Marwa. Itu semua harus dilakukan secara fisik di tempat dan waktu yang sudah ditentukan oleh syara'," jelas dia.

Anwar menambahkan bahwa kehadiran Virtual Black Stone Initiative bisa dimanfaatkan untuk lebih mengenal Ka'bah secara virtual.
 
Hal itu juga akan memotivasi umat Islam untuk pergi berhaji ke Tanah Suci, tapi tidak bisa digunakan sebagai sarana untuk menunaikan ibadah haji.

"Sia-sia kah perbuatan tersebut? Saya rasa tidak, karena hal demikian jelas akan menimbulkan kebaikan dan manfaat bagi yang bersangkutan karena dengan itu dia akan tahu banyak tentang hal-hal yang terkait dengan masalah haji," ungkap dia.***