Presiden Tabuh Rebana, Kiai SAS Berkisah Latar Belakang NU dan Singgung Embrio Radikalisme

- 22 Desember 2021, 13:10 WIB
Didampingi Wapres Ma'ruf Amin dan para pengurus PBNU, Presiden Jokowi menabuh rebana bersama tanda pembukaan muktamar 34 NU.
Didampingi Wapres Ma'ruf Amin dan para pengurus PBNU, Presiden Jokowi menabuh rebana bersama tanda pembukaan muktamar 34 NU. /NUOnline/

POSJAKUT -- Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj mengatakan bahwa NU berdiri sebagai jawaban atas setiap persoalan dan tantangan zaman.

Kedua hal itu dijawab oleh kiai-kiai NU karena Islam memiliki posisi untuk menciptakan warna di tengah kelamnya perkembangan zaman pada saat itu.

“Islam harus terlibat memberi warna pada zaman yang tak menentu, mencari-cari cara agar cahaya Allah terlihat dan tak padam oleh kekufuran.”

“ Pada saat itulah para kiai terpanggil menjawab setiap tantangan pergolakan zaman itu lewat sudut pandang agama,” katanya saat menyampaikan sambutan di acara pembukaan Muktamar ke-34 NU, Rabu 22 Desember 2021.

-Baca Juga: Presiden Jokowi Buka Muktamar NU di Lampung, Mengenakan Sarung Hijau Didampingi Ibu Iriana

Acara muktamar digelar di Pondok Pesantren Darussa’adah di Desa Seputih Jaya, Kecamatan Gunung Sugih, Lampung Tengah.

Presiden didampingi Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin membuka secara resmi muktamar ini ditandai dengan penabuhan rebana.

Selain Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar, Ketua Umum PB NU KH Said Aqil Siradj (KH SAS)  dan sejumlah menteri ikut mendampingi  Presiden Jokowi.

Menurut Kiai SAS pada tataran global, dunia kembali dihadapkan dengan berbagai persoalan, mulai dari perang dunia pertama, sistem monarki, hingga gelombang radikalisme.

“Perang Dunia pertama baru saja usai, sistem monarki berbasis agama mulai terasa tak memadai, dan gelombang Wahabisasi sebagai embrio radikalisme berkibar dari Hijaz,” terang kiai kelahiran Cirebon, 3 Juli 1953 itu.

Bersamaan dengan hal tersebut, patriotisme di Nusantara menurutnya sudah menemukan wujudnya, untuk melawan penjajahan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Era itu dikenal sebagai kebangkitan nasional.

-Baca Juga: LANGGAM JAKARTA: Mau Pinjam dan Baca Buku Gratis Datangi Saja Perpustakaan Milik Pemprov DKI

 “Di era itu, NU sebagai jam’iyyah sepenuhnya lahir dari transformasi praktik kemandirian jama’ah, yakni kemandirian komunitas pesantren yang selama berabad-abad bertahan hidup dalam tekanan kolonialisme,” ungkapnya.

Alumnus Universitas Umm Al-Qura Mekkah, Saudi Arabia itu.  mengisahkan, suasana zaman pada saat NU lahir banyak diliputi pertanyaan besar, apalagi selepas melewati berbagai macam kejadian perang.

Dari perang dunia pertama hingga peledakan bom atom di dua Wilayah Jepang pada Agustus 1945 silam, yang menandai berakhirnya perang dunia kedua.

“Apakah selepas perang demi perang, setelah begitu banyak darah tumpah, kita sebagai umat manusia bisa hidup untuk saling berbagi di atas bumi Allah ini. Kalaupun bisa bagaimana caranya,” ucapnya.

“Dari sanalah saya menghayati betapa berartinya NU di Indonesia dan Dunia,” sambung Kiai Said.    

Perasaaan itu, ia rasakan sejak belasan tahun hidup di Jazirah Arab. Sebab, di sana agama sedari awal tidak menjadi unsur aktif dalam mengisi makna nasionalisme.

-Baca Juga: JADWAL SHOLAT Khusus Untuk Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan dan Bekasi

“Bila Anda membaca sejarah dan naskah konstitusi negara-negara Arab, Anda akan segera tahu betapa mahal dan berharga naskah Pembukaan UUD 1945 yang kita punya,” tegasnya.

Sumber: nu.or.id

Editor: Ramli Amin


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini

x