BERBAGI CERITA: Orang Bekasi Liburan ke Jakarta (3)

- 7 Maret 2022, 08:00 WIB
Berswafoto di terowongan ex putaran kendaraan dari arah Sudirman atau dari arah Thamrin yang kini dipenuhi dengan banyak mural dihias dengan aneka lampu dan indah./amin idris
Berswafoto di terowongan ex putaran kendaraan dari arah Sudirman atau dari arah Thamrin yang kini dipenuhi dengan banyak mural dihias dengan aneka lampu dan indah./amin idris /abu bagus /amin idris/

 

Catatan Amin Idris (wartawan senior)

POSJAKUT -- Keluar dari Stasiun Duku Atas, atau Stasiun Sudirman kini, saya sempat photo-photo di fly over yang dijadikan tongkrongan selfi.

Menarik, ada stage yang dibangun Baznas di sini. Tertulis jelas untuk kaum difable. Salut saya sama Baznas. Sempat juga mikirin, sampe di terowongan ini dibuatkan persembahan untuk difable.

Di tengah kehidupan yang makin serakah, makin egois, makin materialistik, eh di sini ada Baznas yang peduli difable.

Beberapa langkah dari sini saya masuk Stasiun MRT melalui lorong pintu masuk. Namanya Duku Atas BNI. Ini stasiun MRT kedua dari utara, selepas Stasiun Bundaran HI.

Pastikan anda membawa kartu duit. Bisa flazz, e-money atau bisa juga kartu KAI. Semua berlaku. Justeru kalau pake duit gak bisa di sini. Duit gak laku disini, seperti juga di banyak tempat lain.

Cashless menghemat biaya pencetakan uang. Karena uang tak lagi diperlukan fisiknya. Uang dalam perspektif kaum kapitalis semakin abstrak.

Baca Juga: BERBAGI CERITA: Orang Bekasi Liburan ke Jakarta

Sebagai nilai tukar, uang memang sudah mengabaikan rasionalitas. Makanya sebagian orang kembali ke emas, dinar atau dirham.

Tujuan kami MRT yang arah selatan. Bisa turun di mana saja. Karena memang sedang dolan-dolan aja. Bisa di Setia Budhi, Benhil, Senayan, Asean, Blok M atau terus bablas sampai Lebak Bulus. Oke, kami putuskan turun di Senayan.

Dari stasiun saya memilih muncul ke permukaan bumi di depan kantor Nadiem Makarim. Muncul ? Iya, karena MRT dari Blok M sampe HI adalah dunia dalam tanah.

Jebbuuul di permukaan bumi, sebelah barat Kantor Menteri Nadiem, sebelahnya Ratu Plaza dan Panin Building.

Sejak dari Duku atas, saya berlari dengan kecepatan tinggi di dalam tanah. Jadi bukan tikus aja, atau curut atau cacing atau sejenis binatang melata lainnya yang mondar mandir di dalam tanah. Saya dengan kapsul teknologi baru saja diajak berlari di dalam tanah.

Hmmm benar … ini semua berkat ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu itu diberikan Allah untuk kemudahan, kesejahteraan dan kenyamanan manusia.

Makanya jangan bikin Allah marah. Karena mudah bagi Allah untuk dibikin amblas tuh lobang MRT, maka terkubur semua kemewahan dan kesombonganmu.

                                                          ****

Biasa, namanya juga jalan-jalan. Di depan kantor Nadiem saya jeprat jepret. Swaphoto sambil cerita sama kekasih teman jalan saya ini, tentang saya dan masa lalu di lokasi ini.

Di Kantor Kemendiknas, di Ratu Plaza atau di Panin Building ada goresan cerita perjalanan hidup saya sebagai jurnalis kala itu. Di antara cerita itu ada tentang Singkong Thailand.

Di Restoran Thailand, di basemen Panin Building saya pernah diajak makan. Mewah sekali perjamuan itu. Maklum ada teman-teman yang dari Singapore dari Hunan, dari Guangzhou dan dari Hongkong.

Salah satu makanan setelah makan adalah Mossuh (Musuh). Saya delengin tu kue yang namanya Musuh. Teman di kursi sebelah saya bilang enak ini.

“Hao de,” katanya. Dan bahannya banyak sekali di Indonesia.

-Baca Juga: Aktor Lee Je Hoon Donasi 100 Juta Won untuk Korban Bencana Kebakaran Hutan di Korea Selatan

Sajiannya di sebuah piring kecil dialasi daun pisang. Warna kekuningan disiram fla putih. Dengan lighting resto yang temaram tapi sorot terang ke arah meja, maka Musuh tampak menonjol.

Saya coba angkat garpu kecil di sisinya. Saya colek Musuh setengah sendok lalu saya colekkan ke fla …. Seeeeeeehhhhh …. Ini mah singkong.

Saat itu sekitar tahun 2001 an. Singkong yang ambyar di tanah-tanah kita rupanya menjadi kuliner mahal di sini. Memang sebanding dengan cara mengolahnya.

Uwenak, ngepas dengan flanya. Lagi-lagi ketrampilan orang Thailand ternyata membuat singkong menjadi punya nilai lebih.
Kita ? Hmmm sekilo masih aja dihargai noceng, paling banter saceng. Untuk bisa naik ke goceng gak pernah bisa.

                                                            ***
Ada penyebrangan orang di depan Ratu Plaza. Saya nyebrag di sini. Atapnya dari fiber. Artistik. Alasnya dari kayu, tak licin dan indah.

Di sisi kiri kanannya terbuka. Tidak seperti penyeberangan di Bekasi, kiri kanannya ditutup papan iklan. Jadi sumpek.

Kami terus melangkah kearah Jalan Sisingamangaraja. Turun dari fly over saya menyaksikan kantornya Menteri Cahyo Kumolo menor bangat. Tiang-tiangnya merah menawan.

Ini mah jadi kantor PDIP. Bisa jadi emang begitu pikiran Cahyo, tapi apa mo dikata, dia yang berkuasa maunya begitu ya begitu.

Di sini saya teringat KH Syukron Makmun dan Pesantren Darurrohman. Kiyai asal Madura ini mendirikan pesantrennya di kawasan ini. Saat itu kebayoran masih udik.

Beberapa nama teman dekat saya, seperti Zarkasyi, Ahmad Qolyubi, Neneng Nurjanah adalah alumni Darurrohman yang di sini.

-Baca Juga: BERBAGI CERITA: Orang Bekasi Liburan ke Jakarta (2)

Saya terus menelusuri trotoar Jakarta yang sangat manusiawi. Trotoar memang buat orang berjalan. Motor dibikin tidak bekutik untuk masuk trotoar ini.

Jalan di sore itu memang lengang. Apalagi di Sisingamangaraja, nyaris bisa dibilang lengang.

Sebelah kanan saya ada jalan. Sebelah kiri rumah-rumah bertembok jangkung dan rapat. Ini kalau ada rampok masuk, teriakan penghuninya tak akan kuasa memanggil tetangga. Karena tetangganya pun bertembok jangkung dan rapat juga.

Memang beginikah semestinya gaya hidup orang kaya … ya terserah dia dah.

Sebelum sampai tujuan, Masjid Agung Al Azhar, saya ngasoh di taman Daha. Nama taman itu diambil dari letaknya di Jalan Daha.

Se-plastik kacang polong bekal dari rumah dikeluarin di sini. Air mineral juga keluar.

Saya duduk asyik bangat di taman. Serasa jadi orang kaya penghuni rumah-rumah bertembok tebel dan jangkung itu.

Atau sebaliknya, ketika orang kaya ngintip dari balik gordein jendela rumahnya di lantai dua, dia malah ngiri, bahagia amat onoh aki-nenek di taman … Kali juga begitu.

-Baca Juga: Hyeyeon Siap Jadi Aktris Gabung dengan Beyond J, Ganti Nama Panggung Jo Aram, Yeppeo!

Saya banggakan Anies Baswedan sang Gubernur. Dia tahu betul saya akan lewat sini, dan kelelahan berjalan. Makanya dia bikin taman dengan kursi seukuran berdua saja.

Beberapa kursi lain juga terisi, ada sepasang suami isteri dengan anaknya yang masih belajar jalan, ada juga yang membawa orang tuanya. Tapi taman tetap bersih. Karya orang cerdas memang jelas manfaatnya.

Dengan taman ini Anies berhasil membuat si kaya jadi sadar dan menyaksikan, di luar tembok rumahnya yang tebel dan jangkung itu ternyata ada kebahagiaan.

Ternyata bahagia melampaui kekayaan duniawi. Atau bisa jadi ini sekadar teori pembenaran untuk meghibur dari kekurangan dibanding yang berkelebihan.

Sampai di Masjid Agung Al Azhar on time, 20 menit menjelang waktu maghrib. Saat saya masuk masjid, ada beberapa orang yang sudah ada duluan. Sambil membaca Alquran.

Dari jendela masjid cagar budaya ini saya menyaksikan langit Jakarta memerah, melepas siang menyongsong malam.

Namun Jakarta rupanya tak rela menjadi malam, ia tetap hidup, menyala, dan bahkan semakin malam semakin glamour dengan kehidupan duniawinya.(bersambung)***

 

 

 

Editor: Ramli Amin


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini

x