Sama Dengan Kondisi di Era Orde Baru, Tahun Depan Penghormatan Terhadap HAM Akan Makin Parah

- 10 Desember 2021, 18:28 WIB
ILLUSTRASI. Aksi ini  sebagai bentuk protes keras akan penindasan Muslim Uighur di Tiongkok
ILLUSTRASI. Aksi ini sebagai bentuk protes keras akan penindasan Muslim Uighur di Tiongkok /Pikiran-Rakyat.com/

POSJAKUT – Berbagai permasalahan HAM (hak asasi manusia) di tahun 2021 ini tak menunjukan adanya perbaikan signifikan terhadap kondisi perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak asasi manusia.

Demikian hasil evaluasi Badan Pekerja KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) yang dipublikasikan dalam rangka memeperingati Hari HAM Internasional, Jumat 10 Desember 2021.

Atas dasar tersebut, di tahun 2022, dengan pola pelanggaran HAM yang terus terjadi, KontraS memproyeksikan situasi justru akan makin parah.

Baca Juga: Indonesia Jadi  Inisiator ASEAN Human Rights Dialogue Dalam  Memajukan Demokrasi dan HAM

Situasi yang makin parah itu akan terjadi baik di sektor sipil politik, ekonomi sosial budaya, pelanggaran HAM di Papua, penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu, dan komitmen di level internasional.

Dikutip dari laman resminya, kontras.org, untuk merangkum situasi dan kondisi HAM selama satu tahun terakhir ini di tanah air, di KontraS merangkumnya dalam sebuah narasi yang diberi tajuk “HAM Dikikis Habis” .

Dalam hal ini, organisasi nirlaba ini melihat pola-pola pelanggaran HAM yang terus berulang sehingga kondisi HAM di Indonesia terus mengalami regresivitas.

“Selama bertahun-tahun, terutama di era Presiden Joko Widodo, kami menilai HAM tak kunjung menjadi prioritas dan pertimbangan utama dalam pengambilan kebijakan,” demikian antara lain sari catatan KontraS .

Semangat perlindungan, pemenuhan dan penghormatan HAM kerap kali harus dihadap-hadapkan dengan misi pertumbuhan ekonomi serta pembukaan keran investasi seluas-luasnya.

-Baca Juga: Pertanyakan Pernyataan Kaporli Jenderal Listyo Sigit, Reza Indragiri: Polisi Harus Gunakan Kekerasan

Demi menjaga stabilitas politik dan pembangunan, menurut KontraS nilai-nilai HAM pun ditiadakan. Kondisi ini juga serupa dengan yang terjadi di masa otoritarianisme orde baru.

Dalam catatannya, KontraS mengulas dan menjabarkan situasi HAM berdasarkan beberapa klasifikasi, yakni hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Demikian juga kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua, penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu, dan komitmen HAM di level internasional.

Dalam sektor hak-hak sipil politik, KontraS menyoroti pengekangan kebebasan sipil (civic liberties) semakin masif dilakukan.

Hal tersebut ditandai dengan maraknya represi yang ditujukan kepada ekspresi masyarakat, khususnya yang sedang menyeimbangkan diskursus negara seperti isu Papua dan lingkungan hidup.

-Baca Juga: Resmi Dilantik Kapolri, Novel Baswedan dkk Ikut Besarkan Direktorat Tipikor Menjadi Kortas

“Dalam hal sektor ekonomi dan sosial budaya, kami menyoroti tanggung jawab negara dan perusahaan yang sangat minim dalam mengedepankan nilai-nilai HAM,” tulis KontraS.

KontraS juga menyoroti represi yang terus terjadi terhadap pembela HAM di sektor sumber daya alam (SDA).

Dalam hal ini, belum adanya peraturan yang secara komprehensif melindungi pembela HAM baik secara umum maupun khusus di sektor SDA, dan keberpihakan pemerintah terhadap korporasi atas dasar kepentingan investasi.

Ditambah lagi, peraturan perundang-undangan bermasalah akan membuat pembela HAM di sektor SDA semakin terancam.

Permasalahan lainnya menurut kajian KontraS, yakni berkaitan dengan kekerasan dan konflik bersenjata di Papua yang semakin masif seiring dengan pendekatan keamanan yang terus dipertahankan.

-Baca Juga: ICW Pesimis Pemberantasan Korupsi, Presiden: Tak Boleh Identik dengan Penangkapan, Pencegahan Lebih Utama

Politik hukum pendekatan tersebut akhirnya membuat kondisi Papua semakin mencekam, ditandai dengan munculnya ribuan pengungsi internal.

Keputusan untuk menurunkan aparat dengan jumlah besar menurut KontraS, juga pada akhirnya tidak menyelesaikan masalah dan hanya melanggengkan konflik yang terjadi.

Dalam hal penuntasan pelanggaran HAM berat, pemerintah tak kunjung menjadikan agenda tersebut sebagai langkah serius dalam setahun terakhir.

Rencana Peraturan Presiden UKP-PPHB dan upaya penuntasan hanya dengan jalur non-yudisial, juga menjadi sorotan KontraS.

Upaya itu, menurut KontraS, semakin mempertegas bahwa Negara berniat menyelenggarakan penuntasan dan pemulihan yang berpijak terhadap versi yang tak sesuai dan malah berpihak terhadap kepentingan para pelanggar HAM.

“Presiden Jokowi masih memproduksi kontroversi yang tak sensitif akan kepentingan korban dan publik.”

Pada level Internasional, menurut kajian KontraS, pemerintah Indonesia masih terus menutup mata terhadap berbagai konvensi internasional yang bersifat progresif terhadap penegakkan HAM.

-Baca Juga: Hakordia 2021: Pemberantasan Korupsi Makin Mencemaskan, Penguatan KPK Jauh Panggang Dari Api

Padahal, Indonesia memiliki daftar panjang pelanggaran HAM, utamanya yang terjadi di Papua. Ketidakseriusan pemerintah ini tercermin dari ditolaknya prinsip R2P yang dapat mencegah kejahatan kekejaman massal.

Di sisi lain, Indonesia juga dilihat belum menangani permasalahan iklim dengan serius.

Pakta The Glasgow Climate Pact yang tidak diimplementasikan secara serius membuat laju deforestasi terus bergerak cepat dan semakin meningkatkan angka kekerasan terhadap orang-orang yang menggantungkan hidupnya pada hutan.***

 

Editor: Ramli Amin


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini