Lain Arteria Dahlan, Lain Kasus Edy Mulyadi, Pakar Pidana Sebut Pasal Geregetan

- 11 Mei 2022, 12:35 WIB
Edy Mulyadi jalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Selasa, 10 Mei 2022 /Foto: Depok.pikiran-rakyat.com/ /
Edy Mulyadi jalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Selasa, 10 Mei 2022 /Foto: Depok.pikiran-rakyat.com/ / /seputartangsel.pikiran-rakyat.com/

POSJAKUT – Pakar hukum pidana Dr Muhammad Taufiq SH MH menilai proses penanganan perkara terhadap aktivis/ wartawan senior Edy Mulyadi dalam kasus “Jin Buang Anak” tidak menghormati Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2021 dan Surat Edaran Kapolri no.2/II/2021.

Lebih jauh, Presiden Asosiasi Ahli Pidana Indonesia (AAPI) itu berpendapat, ada kepentingan/ kekuatan besar yang berusaha menekan Polri terkait keberadaan Edy Mulyadi yang dinilai vocal, content-content yang ditampilkannya sebagai wartawan dan aktivis selalu beropisisi.

Sebagai jurnalis, Edy Mulyadi memang sering melontarkan kritik melalui jaringan video berita “Forum News Network (FNN)” , terutama terkait penanganan kasus pembantaian pengawal Habib Rizieq Shihab di Km50 Cikampek.

-Baca Juga: Tilang Gage Diberlakukan 1,7 juta Kendaraan Warga Jabodetabe yang Digunakan Mudik Sudah Kembali Semua

“Karena itu dicari-cari pasalnya,”kata Taufiq menjawab salah seorang lawyer melalui podcast MT & P di saluran yuotube yang dikutip POSJAKUT, Rabu pagi 11 Mei 2022.

Selasa 10 Mei 2022 dimulai sidang perdana untuk terdakwa wartawan senior Edy Mulyadi dalam perkara yang dikenal dengan 'Kalimantan Tempat Jin Buang Anak'.

Terdakwa Edy Mulyadi pada sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat ini, didampingi sedikitnya 20 pengacara. Agenda persidangan adalah mendengar pembacaan surat dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).

“Kalau saya ditanya, apa pasal yang dikenakan kepada Edy Mulyadi, ya…pasal geregetan,”kata Taufiq santai.

Kalau dicari hukum positipnya, taka da unsur pidananya. “Lebih-lebih orang yang membuat pernyataan itu ternyata pengurus satu Parpol, bukan perwakilan masyarakat…”

-Baca Juga: Setelah Turun Secara Signifikan, Selasa Kemarin Jakarta Catat Ada Kenaikan 57 Kasus Positif Covid-19

Taufiq menyorot, dalam penanganan perkara ini belum pernah dipertemukan antara kedua belah pihak. Tahu-tahu dengan sekonyong-konyong ditetapkan tersangka.

“Yang aneh, nih masyarakat awam harus paham, bagaimana mungkin kalau seseorang datang dengan baik-baik, dialkukan penangkapan.”

“Penangkapan itu apabila orangnya taka da, tak datang atau tak hadir ketika dipanggil, itu baru ditangkap,” lanjutTaufiq lagi.

Penangnan kasus ini menurut Taufiq, lebih dulu dengan membuat framing. Celakanya, media massa yang memberitakan taka da yang melakukan cover both side (pemberitaan seimbang). Padahal etika jurnalistik itu, pemberitaan harus seimbang.

Taufiq kembali menyatakan keheranannya, seprti ada kekuatan atau kepentingan besar di balik kasus ini. Sambil menyebut beberapa kasus, Taufiq menyebut ada proses pemeriksaan tiga hari lidik langsung naik menjadi sidik.

“Padahal kita punya seseorang (sambil menyebut nama buzzer) yang dilaporkan dan sudah jadi tersangka sejak 2017 namun hingga kini perkaranya tidak jelas.”

-Baca Juga: Liverpool Tempel Terus Manchester City Usai Libas Aston Villa 2-1

Ia lantas membandingkan penanganan perkara yang dihadapi seorang anggota DPR, Arteria Dahlan, dengan perkara yang “ditimpakan” kepada Edy Mulyadi. Kenapa bisa berbeda? Ada apa?

Politisi PDIP Arteria Dahlan pernah didemo/ diprotes tokoh dan kalangan masyarakat Jawa Barat terkait statemennya yang meminta Jaksa Agung memecat seorang pejabat di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat yang ketika rapat menggunakan bahasa Sunda.

Statemen Arteria Dahlan ini menyinggung masyarakat Jawa Barat, masyarakat lalu memrotesnya. Namun penyelesaiannya bukan dengan jalan mempidanakan Arteria.

Taufiq lantas menyinggung Perkap no.8/ Tahun 2021 tentang Penanganan Perkara yang Berkeadilan alias Restorative Justice.

Ini Perkap ini, pertama: dipulihkannya kembali keadaan. Dalam hal ini, Taufiq menyebut kasus yang ditimpakan kepada Edy Mulyadi ini bukan kasus apa-apa, tapi kasus cemen. Kedua, menghindari model pemidanaan.

Perkap ini kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Kapolri, No.2/II/2021 tertanggal 19 Februari 2021.

Di awal-awal jadi Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo ada semangat untuk memperbaiki Kepolisian.

“Karena dia bilang, tolong sampaikan kepada saya, kalau ada orang yang ditangkap hanya karena berkata polisi jelek,”ujar lawyer dari MT& Partnen Lawfirm ini.

“Tapi di dalam perkara ini (perkara Edy Mulyadi-red), nampak beliau tidak berwenang. Artinya seperti ada kekuatan lain,”ujar Taufiq mengungkapkan keheranannya.

Menurut pengajar Fakultas Hukum Unissula Semarang ini, seharusnya kalau memang kepolisian ini sebuah institusi, di mana ada Kapolri, ada Kabareskrim, Kabagintel, Kapolda….dan seterusnya, maka aparat polisi yang di bawah tidak boleh “melewati” (garis kebijakan pimpinannya-red).

Karena menurut Taufiq, di Kejaksaan juga ada yang namanya Restorative Justice. Dalam perkara-perkara tertentu jaksa diperkenankan mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih. Kemudian putusannya nanti didaftarkan ke Kejaksaan Agung.

“Karena itulah saya menilai penanganan perkara bang Edy Mulyadi ini tak menghormati Perkap dan Surat Edaran Kaolri, “ lanjut Taufiq,

Kalau pendekatan RJ (restorative justice) yang digunakan, mestinya yang berperkara dipertemukan. “Artinya yang punya legal standing, orang Kalimantan siapa sih yang tersinggung?”

Tafuq berkesimpulan, kasus ini tidak ada pasal pidananya. Soal istilah jin buag anak itu, sejak dia masih sekolah SD sudah mendengar itu.
“Saya sebagai orang Jawa menyebut satu tempat yang gangliwangliwung…tanah tak bertuan, kemudian berkembang jadi bagus.”

“Tempat jin buang anak ini juga diucapkan Ir Ciputra ketika ditugaskan mengembangkan apa yang kita kenal kini dengan Taman Ancol, juga Kawasan Simpruk yang kini menjadi kawasan mewah, dulu disebut tempat jin buang anak,” demikian Taufiq. ***

 

 

Editor: Ramli Amin


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini

x