Konflik Palestina-Israel, Khoirul Umam: Indonesia Harus Berperan Bangun Sinergi dengan Negara Moderat

- 30 September 2022, 23:15 WIB
Konflik Palestina-Israel, Ahmad Khoirul Umam: Indonesia Harus Berperan Aktif Bangun Sinergi dengan Negara Moderat
Konflik Palestina-Israel, Ahmad Khoirul Umam: Indonesia Harus Berperan Aktif Bangun Sinergi dengan Negara Moderat /Nur Aliem Halvaima/Foto : Tangkapan Webinar - POSJAKUT/

POSJAKUT - Ahmad Khoirul Umam, Ph.D. Dosen Paramadina Graduate School of Diplomacy (PGSD) menyatakan bahwa dalam konteks neorealis, apa yang terjadi di Palestina dan Israel tidak terlepas dari dukungan kuat internasional.

"Termasuk gagasan Two States Solution yang disampaikan PM Israel dan Joe Biden," kata Ahmad Khoirul Umam dalam diskusi kerjasama Universitas Paramadina dengan Centre for Dialogue and Cooperation Among Civilizations (CDCC).

Dalam diskusi yang diselenggarakan secara daring Kamis 30 September 2022 ini, ikut berbicara dalam kesempatan tersebut Prof. Din Syamsuddin, Ph.D.

Menurut Ahmad Khoirul Umam, ada perbedaan signifikan dulu dan sekarang. Kalau dulu, dunia Arab sangat solid. Beberapa kali perang Arab – Israel, dunia Arab nampak solid hingga pada era perang Yom Kippur 1973, Israel hampir saja kalah.

Baca Juga: Prof Din Syamsuddin: 'Masalah Perbatasan Masih Jadi Kendala Serius Konflik Palestina–Israel!'

“Ketika itu suara dunia Arab bulat No peace, No Nego! Namun pada hari ini di dunia Arab telah terjadi pergeseran pendirian. Beberapa negara Arab telah membuka hubungan diplomatic dengan Israel, dan aktor utama untuk itu nampaknya pihak Arab Saudi,” katanya.

Pergeseran posisi dunia Arab menurut Umam, terletak pada faktor tingginya ketergantungan proteksi militer negara-negara Arab kepada USA. 

Terdapat Private Military Company (PMC) yang dimiliki oleh para veteran perang USA yang dipekerjakan di sejumlah negara-negara Timur Tengah.

USA berhasil mengubah persepsi ancaman baru di negara-negara Timur Tengah. Saat ini yang menjadi ancaman baru adalah Iran. Shifting ancaman ke Iran tersebut membuat Israel lebih leluasa. 

Baca Juga: Rektor Universitas Paramadina, Prof. Dr. Didik J. Rachbini: Indonesia Seolah Telah Menjadi Subordinasi China

"Namun, masalah Palestina kemudian tidak lagi menjadi prioritas bagi politik luar negeri negara-negara Arab,” imbuhnya.  

Hal itu lanjut Umam, membenarkan tesis Huntington 30 tahun lalu yang menyebutkan bahwa Islam memang sebuah kesadaran besar, tetapi tidak didasarkan pada kohesi yang kuat bagi masyarakatnya.

“Hambatan utama bagi perdamaian Israel dan Palestina adalah masalah perbatasan, di mana Israel tidak mau menyerahkan batas wilayah yang didudukinya pada Perang 1967, karena masing-masing mempunyai persepsi,” katanya.  

Wilayah Tepi Barat Palestina telah dibangun dan dikembangkan oleh Israel dengan membangun ribuan perumahan yahudi. 

Baca Juga: Warek Universitas Paramadina: 'Menaikkan Harga BBM Bersubsidi Dalam Masa Pemulihan Ekonomi, Kurang Tepat!

Israel juga tidak mau membagi ibukota Jerusalem menjadi dua, sebagaimana tuntutan pihak Palestina yang menghendaki Yerusalem Timur.

Masalah lain yang juga berat adalah 5 juta pengungsi Palestina yang terpaksa mengungsi sejak Perang 1948. 

Para pengungsi Palestina pasti ingin kembali ke tanah asal mereka, sementara Israel menolak karena salah satu pertimbangan, yakni perubahan komposisi penduduk, yang akan berubah pasca kembalinya para pengungsi Palestina.

Khoirul Umam yang juga Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI) menekankan, bahwa Global Power Shifting dengan munculnya China sebagai kekuatan ekonomi baru, harus jadi momentum penting.

Baca Juga: Bagaimana Kehidupan Masyarakat Pasca Pandemi? Diseminarkan di Universitas Paramadina

“OKI harus diberdayakan untuk menggoalkan ide Solusi Dua Negara. Indonesia jelas harus berperan aktif dengan membangun sinergi aktif dengan negara-negara moderat seperti Turki, Jordania, Maroko, Emirat Arab, Qatar, Jordania dan Arab Saudi. Serta negara-negara Asia Selatan Pakistan dan Malaysia,” ujarnya.

Tantangan lainnya, menurut Khoirul, adalah masih terbelahnya faksi-faksi perlawanan Palestina seperti Fatah dan Hamas. Fatah menggunakan konsep sekularisme negara, namun Hamas berdasarkan pada konsep keagamaan.

“Syukur alhamdulillah, Indonesia telah selesai dengan masalah-masalah tersebut dengan menjadikan Pancasila sebagai basis dialog Kenegaraan dan Keagamaan," pungkasnya.***

Editor: Nur Aliem Halvaima


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini

x