Aksi Protes Karakalpakstan Meningkat, Presiden Uzbekistan Angkat Tangan

5 Juli 2022, 21:00 WIB
Presiden Uzbekistan Shavkat Mirziyoyev mengumumkan keadaan darurat setelah 18 orang tewas dan ratusan lainnya terluka menyusul protes di wilayah otonomi Karakalpakstan. /UPI/Olivier Douliery

POSJAKUT - Minggu, 3 Juli 2022, Presiden Uzbekistan, Shavkat Mirziyoyev, mengumumkan bahwa status Republik Karakalpakstan tidak akan berubah.

Pengumuman itu muncul setelah protes meningkat selama akhir pekan di ibukota Karakalpakstan, Nukus, dan sekitarnya menyusul rilis rancangan referendum konstitusi yang akan memperpanjang masa jabatan presiden dan mencabut otonomi republik.

Menurut laporan resmi, para demonstran berusaha mengambil alih gedung-gedung pemerintah.

"Ada korban di antara warga sipil dan petugas penegak hukum," kata Mirziyoyev dalam pernyataan tertulis, dilansir kantor berita DW.

Baca Juga: Berikut Profil Putri Widhiasari Runner Up 2 Indonesia's Girl, Surpise Bisa Masuk Top 5, Ini Katanya!

Bertetangga dengan Turkmenistan dan Kazakhstan, Karakalpakstan memiliki populasi hanya di bawah 2 juta — atau sedikit di atas 5% dari 36 juta lebih warga Uzbekistan — tetapi mencakup hampir 40% wilayah negara itu.

Dengan garis pantai di sepanjang Laut Aral yang menguap, Karakalpakstan sebagian besar terdiri dari gurun dan, oleh karena itu, tidak memiliki tanah yang subur. Tingkat pengangguran tinggi dan bergantung pada Uzbekistan secara ekonomi.

Orang-orang Karakalpak adalah etnis minoritas penutur bahasa yang relatif dengan bahasa Uzbek, tetapi berbeda dari Uzbekistan. Bahasa Karakalpak, seperti bahasa Kazakh yang digunakan di Kazakhstan, termasuk dalam rumpun Kipchak dari Turk.

Sedangkan Uzbek termasuk dalam rumpun Karluk, yang digunakan juga oleh orang Uyghur di Cina barat.

Baca Juga: Dinas Kebudayaan DKI Buka Kembali Titik Nol Meridian Batavia di Museum Bahari Jakarta

Setelah menetap di wilayah sekitar sungai Amu Darya di Asia Tengah selama abad ke-18, Karakalpaks berada di bawah kekuasaan Soviet Rusia pada tahun 1920. Pada tahun 1925, Karakalpakstan didirikan sebagai provinsi otonom Republik Sosialis Soviet Otonomi Kazakh.

Wilayah ini berada di bawah administrasi Republik Sosialis Federasi Soviet Rusia pada tahun 1930. Dan pada tahun 1932, Republik Sosialis Soviet Otonomi Karakalpakstan dibentuk.

Kemudian tergabung menjadi bagian dari Republik Sosialis Soviet Uzbekistan pada tahun 1936, menjadi satu-satunya republik otonom di Asia Tengah Soviet.

Karakalpakstan mendeklarasikan kemerdekaan dari Uni Soviet pada tahun 1991, dan bergabung kembali dengan Uzbekistan pada tahun 1992, dengan syarat otonominya dipertahankan.

Baca Juga: Resmi! Tawaran Keanggotaan NATO untuk Swedia dan Finlandia Sudah Disetujui 30 Negara. Termasuk Turki!

Pada tahun 1993, Karakalpakstan menandatangani perjanjian reunifikasi 20 tahun dengan pemerintah pusat di Tashkent, yang menjamin hak konstitusional republik untuk menarik diri melalui referendum dari Uzbekistan.

Menurut perjanjian, setelah 20 tahun, para pihak akan memperpanjang perjanjian atau Karakalpaks akan mengadakan referendum untuk meninggalkan Uzbekistan. Namun pada tahun 2013 tidak ada pemungutan suara.

Pasalnya gerakan-gerakan kemerdekaan seperti Partai Kebangkitan Nasional Karakalpakstan Merdeka dan Alga Karakalpakstan memiliki pengaruh yang kecil untuk menjadi memisahkan diri dan menjadi negara independen.

Sementara itu, rancangan teks dari referendum Uzbekistan pada bulan Juni lalu tidak menyebutkan status "berdaulat" Karakalpakstan atau hak untuk memisahkan diri.

Jika referendum disahkan, maka akan berdampak pada hilangnya hak republik untuk Karakalpakstan secara konstitusional.

Baca Juga: ACT alias Aksi Cepat Tanggap dalam Penyelidikan Bareskrim Polri

Usulan amandemen tersebut merupakan bagian dari paket perubahan konstitusi yang diusulkan Mirziyoyev selama masa jabatannya sebagai Presiden Uzbekistan.

meningkatkan masa jabatan presiden menjadi tujuh tahun dari lima tahun saat ini dan mengatur ulang hitungan masa jabatan untuk Mirziyoyev.

Mirziyoyev menjadi presiden pertama kali pada tahun 2016 dan kemudian terpilih lagi pada tahun 2021. Lewat amandemen tersebut, masa jabatannya akan direset dan ditambah tujuh tahun. 

Dengan kata lain referendum mengizinkannya menjabat selama 14 tahun, dihitung sejak 2022., dari yang seharusnya hanya 5 tahun masa jabatan per periode.***

Editor: Abdurrauf Said

Sumber: DW

Tags

Terkini

Terpopuler