Kultum Ramadhan: Allah dan Nabi Tak Mensyaratkan Usia Tua Baru Bertobat

- 8 April 2022, 07:20 WIB
Ilustrasi 3 bekal menyambut bulan suci puasa, salah satunya bertobat /Dok. Hallo Media/M. Rifa'i Azhari
Ilustrasi 3 bekal menyambut bulan suci puasa, salah satunya bertobat /Dok. Hallo Media/M. Rifa'i Azhari /ringtimesbali.pikiran-rakyat.com/

Karena itu, Allah dan nabi-Nya tidak pernah mensyaratkan “tua” sebagai salah satu syarat diterimanya tobat.

Tobat bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja, bahkan bagi orang yang merasa dirinya tidak pernah melakukan dosa. Dia harus tobat dari perasaannya itu, karena tidak ada manusia yang tidak membawa beban dosa selain para nabi.

Di halaman sebelumnya, Sayyid Abdul Aziz al-Darani mengutip sebuah riwayat tentang Sayyidina Umar dan seorang pemuda. Dalam riwayat itu dikatakan: ونظر عمر بن الخطّاب رضي الله عنه إلي غلام يتردد في الأسحار إلي المساجد وعليه حبة صوف فقال له: يا غلام لقد أسرعت, فقال: يا أمير المؤمنين ليس كل ثمر يدرك النضج

“(Sayyidina) Umar bin Khattab radliyallahu ‘anh pernah melihat seorang pemuda yang merutinkan dirinya mendatangi masjid di waktu sahur, ia mengenakan pakaian shuf. Sayyidina Umar berkata kepadanya: ‘Wahai pemuda, sungguh kau telah terburu-buru.’

-Baca Juga: JADWAL IMSAKIYAH dan SHALAT: Untuk Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan dan Bekasi

Pemuda itu menjawab: ‘Wahai pemimpin orang-orang yang beriman, tidak semua buah menjumpai masa matangnya” (Sayyid Abdul Aziz al-Darani, Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, 2003, h. 152).

Ada cara pandang menarik yang disampaikan pemuda itu. Dia menyadari betul bahwa tidak semua buah bertemu masa matangnya.

Artinya, tidak semua usia bertemu masa senjanya. Kesadaran inilah yang membuatnya tidak membuang-buang waktu untuk berdekatan dengan Tuhannya.

Sayyidina Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “mâ min syai’in ahabbu ila Allah min syâbb tâ’ib — tk ada yang lebih disukai Allah daripada seorang pemuda yang bertobat” (Sayyid Abdul Aziz al-Darani, Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, 2003, h. 152).

Pertanyaan Sayyidina Umar harus dipahami sebagai caranya mendidik dan memberi pelajaran, seakan-akan ia sedang mengukur kedalaman istiqamah pemuda tersebut.

Halaman:

Editor: Ramli Amin


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini