Jadi Tuan Rumah KTT, Indonesia dan Thailand Khawatir Akan Terjebak di Tengah Konflik Internasional

24 Maret 2022, 20:30 WIB
Para personel PLN mengikuti apel di pelataran Candi Prambanan sebelum bersiaga di gelaran KTT atau G20. /dok PLN.

POSJAKUT - Asia Tenggara akan menjadi tuan rumah dua KTT di akhir tahun ini. Indonesia sebagai tuan rumah KTT G-20 dan Thailand sebagai tuan rumah KTT Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC).

Di tengah memanasnya hubungan diplomatik internasional membuat kedua negara yang akan menjadi tuan rumah mulai khawatir akan terjebak di tengah konflik, meskipun KTT masih berbulan-bulan lagi dan bahkan tidak jelas apakah Presiden Rusia Vladimir Putin akan muncul atau tidak.

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi secara pribadi telah menyatakan keprihatinannya tentang ancaman sanksi sekunder AS terhadap China karena para pemimpin di Jakarta melihat sikap Beijing terhadap perang sebagai netral.

Sementara Indonesia berencana untuk menyambut Rusia ke KTT G-20, Marsudi mengatakan, para pejabat dalam negeri khawatir AS akan menekan Indonesia untuk meninggalkan kebijakan non-blok.

Baca Juga: Didesak Warga Pedesaaan Afghanistan, Taliban Terpaksa Melanggar Janji Penyerataan Pendidikan Bagi Perempuan

"Indonesia ingin menjaga agenda terbatas pada kebijakan ekonomi, kesehatan global dan perubahan iklim," tambahnya.

Thailand juga khawatir bahwa mereka akan dipaksa untuk memihak jika AS dan sekutunya memboikot KTT APEC atas keterlibatan Rusia, menurut surat kabar Nation.

Laporan yang mengutip Pusat Keamanan Angkatan Bersenjata Kerajaan Thailand mencatat bahwa Rusia telah memasukkan delapan anggota APEC ke daftar hitam dan memperingatkan akan lebih banyak sanksi terhadap ekonomi anggota jika perang berlarut-larut.

Ketidakpastian tersebut menggarisbawahi risiko bahwa perang di Ukraina akan mempercepat retakan dalam ekonomi global yang berpusat pada risiko keamanan nasional atas rantai pasokan, teknologi canggih, dan data pribadi jutaan warga.

Meskipun AS belum menentukan aktivitas bisnis apa dengan Rusia yang akan memicu sanksi sekunder, seringnya penggunaan tindakan tersebut terhadap China dalam beberapa tahun terakhir menimbulkan risiko yang signifikan bagi negara-negara pengekspor yang bergantung pada pasar AS dan Eropa.

“Bahkan sebelum invasi ke Ukraina, tatanan dunia multilateral sudah berada di bawah tekanan yang cukup besar dari ketegangan strategis antara kekuatan besar,” kata Wakil Perdana Menteri Singapura Heng Swee Keat.

“Krisis saat ini akan semakin menonjolkan keretakan ini, dan menimbulkan ancaman besar bagi aturan hukum internasional,” lanjutnya.

Rusia dikeluarkan dari G-8 pada tahun 2014 menyusul pencaplokan Krimea oleh Putin, yang terjadi setelah penggulingan kepemimpinan Ukraina yang didukung Kremlin.

Baca Juga: Respon Lambat AS Terhadap Ukraina Kurangi Kepercayaan Taiwan Apabila Invasi China Terjadi, Berikut Kata Survei

Namun, akan jauh lebih sulit untuk mengeluarkan Rusia dari G-20 atau APEC, yang memiliki lebih banyak anggota termasuk China, salah satu pendukung diplomatik utama Putin.

Persiapan KTT APEC pada November 2022 masih dalam tahap awal, menurut Tanee Sangrat, juru bicara Kementerian Luar Negeri Thailand.

“Kami tidak ditekan untuk merahasiakan topik apa pun dari diskusi pada KTT tahun ini,” katanya ketika ditanya tentang laporan tersebut. Seorang juru bicara Kementerian Pertahanan menolak berkomentar.

Teuku Faizasyah, juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, mengatakan dia tidak dalam posisi untuk mengkonfirmasi diskusi yang melibatkan Marsudi sambil menambahkan bahwa Indonesia belum mengalami tekanan seperti itu.

Namun, “kami memang prihatin dengan prospek konflik untuk mengalihkan fokus dan kerja sama G-20 dari ekonomi dan pembangunan,” tambahnya.***

 

Editor: Abdurrauf Said

Sumber: Bloomberg

Tags

Terkini

Terpopuler