Baca Juga: Kasus Pemerkosaan Santriwati, Kemen PPPA: Terdakwa Dapat Dihukum Kebiri
Ironisnya, kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan itu, masih dianggap hanya sebatas tindakan asusila, bukan tindakan kejahatan yang melanggar hak dan kemanusiaan korban. Padahal kekerasan seksual dapat menimbulkan dampak traumatis bagi korban.
Penelitian yang dilakukan Scott pada 2017 menunjukkan secara psikologis korban kekerasan seksual dapat mengalami kecemasan, depresi, gangguan stress pasca trauma (PTSD), ketakutan hingga munculnya keinginan untuk bunuh diri. Secara sosial korban kekerasan seksual juga berisiko mendapatkan stigma negatif dan victim blaming dari masyarakat.
Permen PPKS
Seiring meningkatnya kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim menerbitkan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Peraturan menteri yang diteken pada 30 Agustus itu ditujukan sebagai pedoman bagi pihak kampus dalam mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual.
Melalui peraturan menteri ini, Nadiem ingin agar mahasiswa terlindungi haknya untuk belajar dan berkarya serta merdeka dari segala bentuk kekerasan di lingkungan kampus, termasuk kekerasan seksual. “Sampai saat ini kekerasan seksual masih terjadi di perguruan tinggi,” katanya.
Baca Juga: Edan, Korban si Predator Seks Biadab HW Ternyata Mencapai 21 Orang, Rata-rata di Bawah Umur
Hadirnya Permendikbud ini juga sebagai bentuk komitmen Kemendikbud Ristek dalam melindungi warga negara Indonesia termasuk korban kekerasan seksual di lingkugnan perguruan tinggi untuk terus belajar dengan aman di lingkungan yang sportif. "Mari kita bergerak bersama menghapus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi,” ajak Nadim.
Artikel Rekomendasi