Penyakit Pendarahan Mematikan yang Membunuh 80 Persen Kelinci Tertular Telah Menyebar di Amerika Serikat

- 20 Januari 2022, 23:00 WIB
Ilustrasi kelinci
Ilustrasi kelinci /12019/pixabay

POSJAKUT - Penyakit mematikan yang fatal bagi kelinci dengan persentase kematian sekitar 80 persen dari kasus yang menyebar di seluruh AS.

Penyakit Haemorrhagic Kelinci tidak mempengaruhi kesehatan manusia tetapi sangat menular dan sering berakibat fatal bagi kelinci liar dan domestik, dengan tingkat kematian antara 80 dan 100 persen.

Jenis Penyakit Berdarah Kelinci yang saat ini mempengaruhi AS dikenal sebagai RHDV2. Ini adalah virus yang menyerang kelinci selama masa inkubasi tiga sampai sembilan hari.

Gejala pada hewan yang terinfeksi termasuk lesu, penurunan berat badan dan pendarahan dari berbagai lubang seperti hidung atau mata. Ini menyebar melalui kontak langsung dengan kelinci yang terinfeksi hidup atau mati, atau melalui permukaan yang terkontaminasi seperti tempat tidur mereka. Hal ini juga dapat disebarkan oleh kelinci secara oral dan melalui trauma kulit.

Kematian pada kelinci yang terinfeksi biasanya terjadi dalam satu sampai tiga hari.

Baca Juga: Dua Warga Tewas, Sejumlah Pulau Hancur Usai Erupsi dan Tsunami di Tonga

Kehadiran jenis virus RHDV-2 ditemukan di beberapa negara bagian AS tahun lalu, dan kasus baru yang diidentifikasi di New York dan Florida menunjukkan bahwa virus itu terus menyebar di seluruh AS.

Menurut Departemen Pertanian dan Layanan Konsumen Florida (FDACS), dua kasus penyakit telah dikonfirmasi, satu di Lake County dan satu lagi, kasus yang lebih baru, di St John's County.

Departemen Pertanian dan Pasar New York (NASDA) mengatakan pada 15 Desember bahwa kasus virus telah dikonfirmasi pada kelinci domestik di Montgomery County. Dikatakan ada penyelidikan yang sedang berlangsung ke sumber infeksi.

"Ini adalah kejadian kedua RHDV2 di New York," kata pernyataan NASDA. "Kluster kasus pertama ada di New York City pada Maret 2020. Virus itu dengan cepat diidentifikasi, diisolasi, dan diberantas."

Halaman:

Editor: Abdurrauf Said

Sumber: Newsweek


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini