KISAH MISTERI: Kegaiban Hukum Tuhan(2)

- 20 Oktober 2022, 15:00 WIB
Kisah misteri: kegaiban hukum tuhan bagian - 2 . Foto: Illustrasi.
Kisah misteri: kegaiban hukum tuhan bagian - 2 . Foto: Illustrasi. /portalsulut.pikiran-rakyat.com/

Kisah Misteri: Kegaiban Hukum Tuhan (2)

Karya Mpu Wesi Geni

Seluruh tali yang mengikat Surata dilepaskan. Surata merutuk, karena sebagian lengannya berbekas tali yang kuat terikat ke tandu tadi, kini kelihatan memerah. Dari jarak beberapa meter anak-anak yang belajar silat memperhatikan saja kecengengan anak laki-laki itu.

‘’Alangkah baiknya jika ada seorang kerabat dekat Pak Yamin, yang akan melihat jalannya pengobatan yang akan saya lakukan,’’ kata Pak Kokoh lagi. Tetapi Bunyamin menjawab, bahwa seluruh kebijaksanaan telah diserahkan pada Pak Kokoh untuk menyembuhkan anaknya.

‘’Sebenarnya belum cukup itu saja. Jika kebetulan pengobatan ini nampak seperti kasar pelaksanaannya, mungkin akan menimbulkan purbasangka yang tidak tidak.’’

Yang hendak dikatakan Pak Kokoh, ia takut Surata tidak sanggup menyesuaikan diri dengan kehidupan gunung yang sederhana sekali, tanpa ada orang yang akan memanjakannya.

Baca Juga: KISAH MISTERI: Kegaiban Hukum Tuhan (1)

Tetapi ketika Ginem ditawarkan Bunyamin, sebagai mengurus pelayanan Surata, ditampik oleh pak Kokoh. Dengan alasan, sebaiknya Surata dibiarkan berusaha untuk berdiri dan mengatasi kesulitannya sendiri. Jangan terlalu dibimbing.

Dikatakan juga oleh pak Kokoh bahwa sebagian besar penyebab penyakit Surata, itulah pokoknya. Terlalu dibimbing dan tak dibiarkan berusaha sendiri. Selain sebab itu, ada pula sebab yang tersembunyi di tangan Tuhan.

Demikianlah, mulai hari itu Surata tinggal bersama orang kumal-kumal yang sedang belajar silat. Sebenarnya Silat 1000 Jurus Naga itu tidak dipelajari dengan sengaja. Masing-masing mendapat petunjuk gerak di dalam hati.

Bagaimana jurus silat itu keluar, seperti pembawaan masing-masing setelah terlebih dulu melalui petunjuk menyerahkan diri kepada Tuhan sepenuhnya.

Bunyamin meninggalkan Surata dengan perbekalan sekadarnya, karena Pak Kokoh juga tak mengizinkan perbekalan yang berlebih-lebihan, untuk mengajar manusia itu kembali berdiri dengan peralatan sederhana tetapi dengan kepercayaan penuh pada dirinya kembali.

-Baca Juga: Fakta dari Film Fantasi 'The School for Good and Evil' yang Kemarin Baru Dirilis Netflix

Begitulah, waktu mulai merambat. Ketika waktu makan siang tiba, Surata melirikkan matanya kepada piring kaleng, wadah nasi yang disodorkan kepadanya. ‘’Ah…ini bukan anjing,’’ rutuk Surata. ‘’Di rumah aku tidak pernah dihina begini.’’

Pak Kokoh tertawa, dan berkata, ‘’Nenek moyang kita dahulu, termasuk kakekmu, makan di atas cobek tanah liat, tembikar. Apakah mereka lebih hina dari anjing?’’

‘’Di sini tidak ada yang berlebihan dari pada di rumahmu. Di sini diajar hidup sederhana. Supaya jangan perlengkapan di luar itu melayani manusia berlebih-lebihan, sehingga kau lemah, sehingga selalu dituntun dalam hidup.”

Perkataan yang baik itu tidak dimengerti oleh Surata. Dengan agak merutuk, ia tetap belum mau makan di atas piring kaleng. Setelah satu jam kemudian, baru ia mau menjamah makanan itu, sungguh pun tidak begitu banyak yang dimakannya.

Ketika malam tiba, setelah maghrib, latihan silat naga pun dimulai. ‘’Turun ke tanah dengan demikian saja,’’ ujar Pak Kokoh.

‘’Aku harus bergelimang tanah ini?’’ Sangkal Surata. ‘’ Aku belum pernah menyentuh tanah, walau dengan ujung jari kaki sekali pun!’’

Pak Kokoh jadi kesal juga dengan jawaban Surata. Tetapi ia telah menjadi orang penyabar dengan umur lanjut demikian. Surata dipangkunya ke tengah gelanggang. Diletakkannya di atas tanah.

‘’Nah…berusahalah untuk mengeluarkan jurus silat, dari pada kau kami tinggalkan sepanjang malam di tempat terbuka ini,’’ kata Pak Kokoh.

-Baca Juga: Satu Lagi Film Horor Pilihan FFWI 2022, Pocong Mumun Membawa Petaka, Begini Sinopsisnya

Surata melihat di sekelilingnya orang telah sibuk. Ada pula yang mengurut dirinya sendiri. Ada yang memukul-mukul seluruh otot kakinya. Ada lagi yang mengurut-urut lehernya yang kaku.

Memang Surata sendiri melihat, bahwa anak yang pincang dan bengkok leher, diketahuinya semakin sembuh dan anggota badannya kembali seperti biasa.

Surata mencoba mulai berguling di atas tanah. Ketika itu Pak Kokoh menyebutkan asal Adam dari tanah tembikar berwarna hitam, yang ditiupkan sebahagian dari roh Allah kepadanya, jadilah manusia.

Sambil menangis, Surata berusaha mengguling-gulingkan dirinya di atas tanah. Tetapi ia berhenti ketika diketahuinya sebagian pakaiannya telah kotor. Namun suara Pak Kokoh memerintahkan agar Surata terus berlaku demikian.

‘’Kau harus bisa muntah, ‘’ kata Pak Kokoh. ‘’Dengan demikian urat-urat perutmu akan merombak susunan saraf di kepalamu.’’

Pada hari-hari bertikutnya, terkadang terpaksa Pak Kokoh menyeret Surata ke tanah. Karena Surata belum juga bisa muntah. Ini disebabkan ia melakukan seluruh anjuran Pak Kokoh dengan separoh-separoh hati, dan memperhitungkan dirinya kena tanah.

Pada hari ketuju barulah Surata muntah-muntah dengan mengeluarkan sebahagian isi perutnya yang berbuih.
Kelihatan matanya memerah dan seluruh urat-urat di kepalanya seperti ikut berusaha mengeluarkan muntah itu.

Demikianlah, pada hari itu secara tiba-tiba, terjadi suatu keajaiban. Perlahan-lahan, dengan bimbingan permulaan, kini Surata dapat berdiri.

Baca Juga: Sinopsis Jailangkung Sandekala: Teror Supranatural, Film Horor Pilihan FFWI 2022,

Sunguh suatu keadaan yang tidak disangka sama sekali. Tetapi dalam wajah Surata kelihatan biasa saja. Tidak nampak rasa senang karena perubahan dirinya itu.

Mungkin saja ia dendam, karena ketika pertama kali diperlakukan seperti anak orang hina, di atas tanah lapangan tempat berlatih silat, sehingga badannya penuh oleh lumpur tanah liat.

Teringat lagi, ketika ia makan diberi dengan piring kaleng. Teringat pula ia ketika itu tak seorang pula yang mengelus dan membujuk-bujuknya seperti ayah dan ibunya, beserta Ginem di rumah.

Timbullah rasa dendam tersembunyi di dalam hatinya. Orang di perguruan 1000 Jurus Naga Perkasa ini telah memperlakukannya seperti orang biasa. Dan tidak menghormatinya.

Ketika lima belas hari kemudian, Bunyamin dan Safiah datang. Surata tidak mau memperlihatkan, bahwa ia telah pandai berdiri. Wajahnya tak sedikit pun memancarkan kegembiraan, karena rasa kegembiraan itu telah ditimpa oleh perasaan dirinya telah dihina di tempat pengobatan ini.

Karena itu wajahnya menjadi kaku, tegang, seperti tidak berperasaan untuk dipertimbangkan orang lain.

Surata seolah-olah tidak mau berterimakasih kepada kesembuhan yang telah mulai nampak. Bukankah ia telah membayarnya sebahagian dengan perlakuan tidak menghormatinya selama di gunung ini? (Bagian 2 dari 3 tulisan/ ex3714/ra)***

 

 

Editor: Ramli Amin

Sumber: Majalah Misteri


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini

x